Rabu, 28 Desember 2011

drug delivery sistem


PENDAHULUAN
Peluang penemuan dan pengembangan baru dalam bidang farmasi adalah meliputi: penemuan obat baru (New Chemical Entity, NCE), efek farmakologi baru dari obat yang sudah habis masa patennya, dan komposisi baru dari sistem penghantaran (New Drug Delivery System, NDDS).
            Pada saat ini dikembangkan pula cara pemasukan obat baru dengan tujuan sistemik ke dalam tubuh melalui pintu masuk (entry points) baru yang selama ini belum dikembangkan, seperti melalui kulit (transdermal), selaput mukosa (inytranasal, intraokular, intravaginal, sistem oral sasaran kolon, dan sebagainya). Semuanya dirangkum dalam kelompok sistem penghantaran obat baru.
Istilah “Sistem Penghantaran Obat” (SPO) atau Drug Delivery System pada dasarnya adalah istilah yang menggambarkan bagaimana suatu obat dapat sampai ke tempat target aksinya. Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan drug product (produk obat) dan dosage form. Hanya saja, istilah SPO memiliki konsep yang lebih comprehensive yang meliputi: formulasi obat, interaksi yang mungkin terjadi antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, matriks, container, dan pasien
Drug delivery adalah metode atau proses senyawa untuk mencapai efek terapeutik pada manusia atau hewan. Obat dilindungi paten teknologi yang mengubah profil pelepasan obat, penyerapan, distribusi dan eliminasi untuk kepentingan produk memperbaiki kemanjuran dan keselamatan, serta kenyamanan dan kepatuhan pasien. Sebagian besar metode-metode umum termasuk pilihan pengiriman non-invasif peroral (melalui mulut), topikal (kulit), transmucosal (hidung, buccal / sublingual, vagina , okular dan dubur) dan inhalasi rute
 Banyak obat-obatan seperti peptida dan protein, antibodi, vaksin dan gen berdasarkan obat-obatan, pada umumnya tidak dapat disampaikan dengan menggunakan rute ini karena mereka mungkin dapat mengalami degradasi enzimatik atau dapat tidak dapat diserap ke dalam sirkulasi sistemik efisien karena ukuran molekul dan masalah biaya untuk menjadi terapi efektif. Untuk alasan ini banyak protein dan peptida obat-obatan harus disampaikan oleh injeksi. Sebagai contoh, banyak imunisasi didasarkan pada protein pengiriman obat-obatan dan sering dilakukan melalui suntikan. Saat ini usaha di bidang pemberian obat mencakup pengembangan pengiriman ditargetkan di mana obat hanya aktif di area target tubuh (misalnya, dalam kanker jaringan) dan pelepasan berkelanjutan formulasi obat yang dilepaskan selama periode waktu dengan cara yang terkendali dari formulasi.

           







ISI
Masalah yang sering dihadapi dalam merancang dan mengembangkan sediaan adalah masalah kelarutan obat. Teori tentang kelarutan merupakan konversi dari suatu keadaan menuju keadaan lain, dan melibatkan fenomena kesetimbangan.Fenomena  ini digunakan untuk memperkirakan kelarutan dan menyederhanakann pengembangan formulasi, sesuatu yang  tidak selalu mudah (apalagi untuk sediaan parenteral).
. Cara pendekatan pertama yang lazim digunakan untuk meningkatkan kelarutan air dalam suatu obat adalah membentuk garam larut air. Jika pembentukan garam tidak mungkin (misalnya karena garam yang terbentuk sangat tidak stabil,atau tidak menghasilkan molekul yang cukup larut misalnya indometasin natrium injeksi yang hanya stabil selama 14 hari saja dalam bentuk larutan., maka perlu digunakan suatu seri pendekatan formulasi. Pengaturan pH mungkin digunakan untuk meningkatkan kelarutan air dari obat terionisasi. Pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan kosolven yagn tercampur air, atau surfaktan (solubisasi miselar) dan agen pengomplek (misal turunan santin dengan asam salisilat dan benzoat: komplek inklusi dengan siklodekstrin) dan sebagainya.
Saat ini pemanfaatan emulsi dan sistem penghantaran obat koloidal lain (misal liposom, niosom dan sebagainya) untuk pemberian obat secara iv telah digunakan secara luas dan cukup berhasil. Sistem penghantaran obat ini mengubah obat menjadi obat terjerat atau asosiasi obat yang menunjukkan sifat yang berbeda dari obat bebas (senyawa induk) Sistem ini membuka pula peluang untuk memperlama keberadaan obat dalam aliran darah atau memodifikasi disposisi obat dalam darah.
Jika calon obat cukup larut dalam lipid, maka bentuk emulsi dapat digunakan sebagai alternatif penghantaran obat. Emulsi mengandung minyak nabati yang kaya akan trigliserida dan lesitin sebagai surfaktan, serta dapat pula mengandung surfaktan nonionik. Obat tidak larut dapat diinkorpoorasikan ke dalam emulsi lemak komersial(hal ini akdang-kadang tidak berhasil baikkarena oabt dapat memepengaruhi stabilitas emulsi komersial). Atau suatu emulsi dapat dibentuk dari minyak (yang mengandung obat disolubilisasi di dalamnya), seperti pembentukan sediaan emulsi parenteral.
Perkembangan sistem penghantaran obat belakangan ini telah sampai juga pada penggunaan teknologi nanopartikel, yang diharapkan dapat memperbaiki sifat penghantaran obat sebelumnya (nasal, transdermal, depot, PEG-drug, dan liposom).
Beberapa keunggulan nanoteknologi ketika diaplikasikan kepada sistem penghantaran obat antara lain, dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk sediannya dapat diterima dengan baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping, dan tentu saja berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik.

Nanoteknologi sendiri dipahami sebagai pengembangan senyawa dalam ukuran 1 – 1000 nm. Definisi lain oleh The Academy of Pharmaceutical Sciences of Great Britain, bahwa nanopharmaceutical merupakan sistem yang kompleks terdiri sekurangnya 2 komponen, salah satunya adalah zat aktif obat, dan senyawa yang dihasilkan berukuran nano antara 1 – 1000 nm. Berdasarkan sifat fisik, nanopartikel dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu solid nanoparticles (polymeric np, solid lipid np (SLN), nanosuspension, dll), semisolid nanoparticles (liposom, neosome), dan liquid nanoparticles (microemulsion, nanoemulsion, dll).
            Menyikapi hal ini,Prof. Garnpimol G. Ritthidej, Ph.D menyampaikan hasil studi dan penelitian beliau tentang nanopartikel, meliputi polymeric nanoparticles, solid lipid nanoparticles (SLN), dan microemulsion.Saat ini beliau telah selesai mengembangkan chitosan sebagai adjuvant Japanese ecephalitis vaccine per-oral, sehingga sangat cocok mengatasi problem pemberian vaksin konvensional (menggunakan jarum suntik). Lebih jauh beliu menjelaskan bagaimana cara memilih surfaktan yang aman bagi pasien, karena salah satu faktor yang paling mempengaruhi formulasi nanopartikel adalah ketepatan pemilihan surfaktan. Beliau juga menyampaikan beberapa metode preparasi SLN, antara lain dengan High Presure Homogenization (HPH), High Shear Homogenization with ultrasound, pengenceran mikroemulsi, dan emulsion with solvent evaporation. Beliau bahkan telah mengembangkan formula obat diltiazem HCl, teofilin, ibuprofen, dan amphotericin B dalam bentuk SLN, dengan efikasi dan efek samping yang lebih baik dibandingkan produk yang ada dipasaran saat ini.
 .Hal – hal penting yang menjadi tujuan dalam pengembangan system penghantaran obat  adalah terwujudnya suatu sediaan obat yang ideal atau setidaknya mendekati ideal yaitu sediaan obat yang:
1. Cukup diberikan satu kali saja selama masa terapi
2. Langsung dapat didistribusikan ke tempat aksinya dan memiliki adverse effect yang seminimal mungkin
Untuk mencapai tujuan tersebut, obat didesain sedemikian rupa dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti farmakokinetik, farmakodinamik, kenyamanan pasien, dsb. Bredasarkan pertimbangan – pertimbangan tersebut, barulah diputuskan apakah suatu obat cocok diformulasikan sebagai sediaan obat konvensional atau harus diformulasikan menjadi sediaan obat termodifikasi (modified – release drug product).
Sebenarnya, perbedaan utama antara Conventional Drug Product dengan Modified–Release (MR) Drug Product terletak pada kapan sediaan obat harus melepaskan obatnya. Conventional Drug Product akan melepaskan obatnya segera setelah obat dikonumsi (oleh karenanya sering disebut sebagai sediaan Immediate Release, IR), baik itu dikonsumsi secara per oral maupun melalui jalur administrasi yang lain, sedangkan MR sebaliknya. Dia didesain untuk tidak segera melepaskan obatnya setelah dikonsumsi. Penundaan ini bisa berdasarkan waktu (aspek temporal) atau tempat absorbsi (aspek spasial). Baik MR temporal maupun MR spasial keduanya bertujuan untuk mendapatkan profil kadar obat dalam plasma yang optimal.
MR dapat diberikan melalui jalur pemberian mana pun baik melalui oral, maupun paranteral seperti implant (susuk KB), liposom, beberapa sediaan transdermal, dll. Namun, MR oral lebih banyak berkembang dan lebih sering digunakan. Oleh karenanya, dalam tulisan singkat ini akan lebih banyak bercerita tentang MR oral. Beberapa model MR oral yang beredar di pasaran antara lain:
1. Delayed Release (DR). Misalnya menggunakan teknik enteric coating
2. Site specific release. Dilepaskan ketika sediaan obat mencapai lokasi tertentu dari GI tract. Misalanya desain sediaan obat yang ditujukan untuk dilepaskan di kolon, dsb
3. Extended Release (ER). Istilah ini juga sering dipertukarkan dengan Prolonged Release, Sustained Release (SR), dan Controlled Release (CR).
4. Programmed Release.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari MR antara lain:
1. Mengurangi frekuensi pemakaian obat.
2. Meningkatkan patient convenience dan patient compliance yang pada gilirannya diharapkan dapat memperbesar peluang tercapainya target terapi.
3. Menghindari pemakaian obat pada saat–saat yang “merepotkan” atau saat–saat yang mungkin dilupakan oleh pasien, misalnya pada malam hari
4. Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah
5. Mengkondisikan agar efek obat lebih uniform
6. Mengurangi risiko iritasi saluran cerna
7. Mengurangi efek samping
Kekurangan sediaan MR:
1. Biaya. Formulasi MR merupakan formulasi yang mempergunakan teknologi yang relatif lebih canggih daripada teknologi yang biasa digunakan untuk IR sehingga wajar jika biaya yang diperlukan pun lebih mahal.
2. IVIVC seringkali jelek. Sulit sekali mendesain sistem in vitro yang dapat menggambarkan perubahan keadaan in vivo dari satu segmen GIT ke segmen GIT yang lain sehingga wajar jika IVIVC untuk MR seringkali tidak sebaik yang diharapkan.
3. Dose dumping. Ini adalah masalah utama dalam formulasi MR. Sebagai ilustrasi (semoga dapat menggambarkan): Obat yang diformulasikan dalam MR selalu diberikan dalam dosis yang lebih besar daripada dosis satu kali minum. Mungkin dosis yang seharusnya diberikan beberapa kali dalam sehari hanya diberikan satu kali (tentu dalam jumlah total yang sama) kemudian diharapkan dapat terlepas sedikit demi sedikit sehingga efeknya sama seperti jika mengkonsumsi obat tersebut secara bertahap (beberapa kali sehari) secara patuh.
4. Mengurangi fleksibilitas pemberian obat
5. Meningkatkan kemungkinan first pass effect
6. Umumnya bioavailabilitas MR kurang baik
7. Efektivitas pelepasan obat dipengaruhi dan dibatasi oleh GI residence time.
Idealnya, suatu sediaan MR akan melepaskan obatnya mengikuti orde 0 (nol) atau dalam debit yang sama dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi diharapkan sediaan MR dapat melepaskan obat dalam jumlah yang sama seperti jumlah obat yang telah tereliminasi (baik melalui distribusi, metabolisme, maupun ekskresi) sehingga jumlah obat yang ada di dalam darah senantiasa konstan. Dengan demikian, harapannya efek yang diberikan akan selalu sama dari waktu ke waktu. Namun seringkali dalam melepaskan obatnya MR tidak mengikuti orde 0 karena ada banyak peristiwa yang tak terprediksikan yang terjadi dalam GIT (seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sulit sekali mendesain keadaan in vitro yang menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi dari segmen GIT satu yang segmen yang lain sehingga nasib MR dalam GIT relatif sulit diprediksi).
Selain itu, formulasi MR juga harus mempertimbangkan aspek fisikokimia obat yang akan diformulasikan. Misalnya kelarutan, dll. Perlu juga diperhatikan terkait t ½ eliminasi, dosis, indeks terapi, BCS, dsb. Terkait dengan kriteria – kriteria tersebut, beberapa obat dengan sifat – sifat berikut tidak cocok untuk dibuat dalam sediaan MR:
1. Sediaan dengan waktu paro eliminasi yang pendek (kurang dari 4 jam). Jiak suatu obat yang mempunyai t ½ eliminasi pendek ingin diformulasikan dalam bentuk MR, maka dosis yang diberikan harus cukup besar. Masalah timbul jika ternyata dia memiliki therapeutic range yang sempit.
2. Sediaan obat dengan waktu paro yang panjang ( lebih dari 20 jam). Obat dengan waktu paro panjang biasanya juga memiliki interval konsumsi yang relatif panjang, sehingga pembentukan MR3 tidak perlu
4. Absorbsi rendah. Ingat aturan 5 (rule of five).
5. Absorbsi secara aktif
6. Kelarutan rendah
7. First Pass Effect yang Ekstensif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar